Bagi anda yang mengikuti perkembangan berita tentang erupsi Merapi, pasti sudah sering mengetahui banyak ke-lebay-an (hiperbolis) yang dilakukan para peliput berita dari berbagai media. Memberitakan secara berlebihan, menyajikan berita melebihi fakta, dan hanya demi mengejar rating siaran (mungkin).

Puncaknya adalah materi dari siaran infotainment SILET yang tayang pada Minggu 7 November 2010. Saya memang tidak sempat menonton langsung, karena ketika kakak saya yang berada di Jogja meng-sms saya untuk menonton RCTI, saya sedang ada di tengah perjalanan.

Sore harinya saya mendengar cerita dari kakak saya bagaimana materi SILET tersebut. Kalau boleh saya menilainya, nilainya PARAH! Ternyata saya tidak sendirian, banyak yang berpendapat sama setelah melihat berbagai macam hujatan dan keluhan kepada SILET di berbagai macam jejaring sosial.

Per-mintamaaf-an dari SILET

Permintamaafan dari Silet - detik.com

Apakah sebelum membuat sebuah acara itu tidak ada review materi? Pastinya mereka semua yang terlibat memikirkan dampak dan efek psikologis kepada masyarakat luas yang melihat dan mendengarkan. Mungkin bagi orang-orang yang tinggal jauh dari lokasi bencana (dalam hal ini dari Kota Jogja), akan menganggap isinya seru, memacu adrenalin, menarik perhatian, dsb.

Tapi bagaimana dengan masyarakat yang sedang berada di dalam lingkaran bencana itu sendiri? Apa mereka itu nggak mikir ya? Di mana kah tanggung jawab moral mereka? Buat orang yang belum pernah merasakan bagaimana sih rasanya terkena dampak bencana alam, pasti akan menganggap biasa-biasa saja. Saya pikir orang-orang yang berada di balik layar acara SILET itu orang-orang yang punya intelektual tinggi, tapi mungkin nurani-nya NOL BESAR! :hammer:

Saya dulu pernah menjadi salah satu subyek yang terkena efek bencana alam (gempa Jogja 2006). Bagaimana rasanya? Rasanya gak karu-karuan! Hidup serasa nggak tenang, penuh perasaan waspada, dsb, eh ini malah ditambahin dengan berita-berita yang bersifat provokatif. -__-‘

Tak hanya di SILET, dulu reporter TV ONE juga pernah membuat heboh warga Jogja. Reporter tersebut tidak bisa membedakan apa yang disebut abu vulkanik dan apa yang disebut awan panas. :nohope: Reporter tsb mengatakan bahwa Awan Panas sudah mencapai daerah X yang merupakan daerah padat penduduk. Efeknya?? Sejauh informasi yang saya tau dari facebook / twitter, gara-gara ucapan reporter tsb banyak kecelakaan terjadi karena banyak masyarakat yang langsung kalang kabut berusaha menyelamatkan diri.

OK, mungkin saya tidak mengetahui persis efek dari kasus “salah ucap” itu… Tapi gara-gara tayangan SILET kemarin, salah seorang teman saya sendiri yang “menjadi korban”. Semalam (Minggu, 7 nov 2010 malam) saya mengirim SMS ke teman saya dan saya kaget waktu mendapat balasan darinya. Dia mengatakan sedang berada di dalam Kereta Senja Utama dari Jogja menuju Jakarta! :nohope: Ngungsi malam itu juga. :hammer:

Saya bisa dikatakan adalah salah satu yang selalu mengikuti perkembangan berita tentang Merapi. Tidak mungkin saya melewatkan berita perkembangan Merapi. Saya lahir dan besar di Yogyakarta, keluarga, teman-teman dan banyak kerabat berada di kota Yogyakarta, mana mungkin saya tidak peduli?

Saya pikir apa yang sudah dilakukan media-media itu sudah melebihi batas. Tidak hanya menyajikan berita tapi diberi bumbu-bumbu penyedap. Kita masyarakat memang butuh berita dan informasi, dan saya mengucapkan terimakasih untuk itu. Tapi TV yang seharusnya menjadi media hiburan malah menjadi penebar teror, lalu apa bedanya ya dengan para teroris?? :nohope:

referensi : ini, ini, ini, ini dan itu.